
Oleh Nuria Kanaya Imam Puteri
Hai… namaku Abghinatta Pradikta Surya Pratama. Aku mau bercerita tentang kejadian yang membuatku menjadi sekuat ini. Kejadian yang menjadikanku kuat adalah pembullyan.
Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku bersekolah di kota Bandung. Aku masuk menggunakan jalur beasiswa. Saat aku kelas VII, siswa yang mengikuti jalur beasiswa dijadikan satu tempat atau satu kelas yang sama.
Tapi, saat kelas VIII, pengelompokan itu dihapuskan. Lalu, digantikan dengan menyatukan antara jalur beasiswa dan jalur mandiri. Disitulah awal mula pembullyan itu terjadi.
Sejak masuk kelas VIII, aku tidak punya teman. Tapi, aku tidak terlalu memikirkannya, karena aku harus fokus untuk tetap belajar. Aku berharap beasiswaku tidak dicabut oleh sekolah.
Sampai suatu hari, dimana jadwalku untuk piket kelas, aku melaksanakannya. Sesudah piket kelas, aku langsung pulang menuju rumah dengan bersepeda. Tapi, di pertengahan jalan, aku dihadang oleh sekelompok anak-anak.
“Woi… turun!”, kata salah satu orang di sana.
“Iya, ada apa?”, kataku sambil turun dari sepeda dengan penuh ketakutan.
“Oh ini yang namanya Dikta. Yang orang tuanya gak mampu bayar sekolah anaknya?!”, kata Ketua geng mereka.
“hahahaha…”, mereka tertawa dengan nada mengejek.
“Kasian ya kamu gak punya teman. hahahaha…”, kata salah satu dari mereka.
“Tasmu itu penuh dengan sampah yang gak berguna”, kata Ketua geng mereka.
“Sepada ini kalo dijual gak bakalan ada yang mau beli. Hahahaha…”, kata salah satu dari mereka.
“Ayo kita pergi nanti ketularan miskinnya. Hahahaha…”, kata ketua geng.
Setelah mereka pergi, aku pun melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan menuntun sepedaku. Karena ban sepedaku dikempesin oleh mereka. Saat perjalanan pulang ke rumah tiba tiba hujan turun dengan deras. Sepertinya langit ingin menutupi tangisanku.
Saat itu, orang-orang pada menepi untuk menunggu hujan reda. Tapi aku tidak, karena aku takut ibuku khawatir kepadaku. Seiring berjalannya waktu, aku pun sampai di rumah. Aku masuk ke dalam rumah dengan baju yang basah kuyup.
“Dikta, kamu kok pulangnya lama dari biasanya?”, kata ibu.
“Iya, tadi aku piket”, kataku dengan wajah tersenyum.
“Tapi kok piket lama banget ?”, kata ibu lagi.
“Iya, kan kelasku besar dan yang piket cuma 5 orang. Jadi lama deh”, kataku dengan sedikit tertawa.
“Ya sudah jika begitu, lebih baik kamu ganti baju dan makan. Ibu masakkan sayur sop dan orek tempe tahu”, kata ibu dengan wajah tersenyum ke arahku.
“Baik, ibunda ratu”, kataku dengan nada sedikit tertawa.
Setelah mandi, aku langsung nikmati masakan ibu dengan lahap. Setelah selesai makan aku langsung ke kamar dan mengerjakan tugas hari ini. Tiba tiba tanpa sengaja aku terlelap karena kelelahan mengerjakan tugas. Saat terbangun, aku terkaget karena seharusnya aku membantu ibu membuat kue.
Dengan cepat aku berlari ke arah dapur dan melihat ibuku sedang asyik membuat kue. Ibuku adalah seorang penjual kue yang menitipkan kue buatannya ke warung-warung atau sekolah.
“Maafkan aku, ibu”, ucapku penuh sesal.
“Iya, tidak apa-apa kamu pasti lelah mengerjakan tugas dari sekolah”, ucap ibuku dengan membelai rambutku.
Tanpa menunggu lama aku langsung mambantu ibu. Setelah semua kue jadi, aku pun kembali ke kamar untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Selesai bersiap-siap, aku langsung menjumpai ibu untuk membantu menyiapkan kue-kue. Karena aku akan menitipkannya ke warung-warung terdekat. Sementara, ibuku yang mengantarkan kue-kue ke sekolah-sekolah.
“Sejak peristiwa penghinaan itu, aku semakin rajin belajar. Hari-hariku tidak pernah putus dari membaca dan belajar. Tiada waktu senggang bagiku untuk belajar. Aku ingin tunjukkan, meski aku anak orang tidak punya secara materi, tapi aku masih punya hati. Akan aku tunjukkan bahwa kemiskinan keluargaku tidak akan pernah menghalangiku untuk menjadi yang terbaik. Biarlah dunia yang akan menjadi saksi atas semua ini.” Itulah tekad dan seakan sumpahku untuk menebus segala keterbatasanku.
Hingga pada suatu hari. Sesampainya di sekolah, aku duduk di tempat dudukku dan mengecek ulang tugas yang akan dikumpulkan hari ini. Kami semua dikumpulkan di lapangan untuk upacara bendera. Setelah upacara, kepala sekolah menyampaikan pengumuman tentang anak-anak berprestasi.
Tanpa terkecuali, namaku juga disebut dengan prestasi Medali Emas bidang Matematika tingkat Nasional. Dan satu lagi, Medali Emas bidang olahraga Karate Tingkat Internasional.
Setelah acara selesai, semua siswa kembali kelas masing-masing. Tanpa aku sadari sekelompok anak-anak yang mem–bully-ku meminta maaf. Mereka memintaku untuk tidak membalas apa yang sudah mereka lakukan kepadaku. Aku pun berpesan kepada mereka, “Tingkatkan prestasi kalian, tinggalkan hal-hal yang tidak berguna!”
Nuria Kanaya Imam Putri adalah siswi kelas X E-2 SMA Muhammadiyah I Sumenep.
Alhamdulillah…
Luar biasa…
Mantap…
Terus berjuang ananda shalihah…