Pertanyaan:
Dalam bulan Ramadhan ini kita dianjurkan banyak membaca Al-Qur’an. Bolehkah orang yang berhadas besar (misalnya wanita yang sedang haid) membaca al-Qur’an, sebab dalam surat al-Waqi‘ah ayat 79 disebutkan laa yamassuhu illal-muthahharuun?
Jawaban:
Pertanyaan seperti di atas pernah diajukan dan telah dijawab, serta dapat dibaca pada buku Tanya Jawab Agama Jilid II Cet. VI hal. 34-35. Pada kesimpulan penjelasan yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama tersebut dinyatakan bahwa larangan membaca al-Qur’an bagi orang yang berhadas besar hanyalah berdasarkan etis dan kepatutan serta sebagai tanda memuliakan dan menghormati Kalamullah, karena tidak ditemukan hadits yang dapat dijadikan hujjah yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Bahkan ada hadits shahih yang mengisyaratkan bahwa orang yang berhadas besar boleh membaca al-Qur’an.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ. [رواه مسلم وأبو داود والترمذى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata: Adalah Nabi saw menyebut nama Allah dalam segala hal.” [HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Turmudzi].
Dari hadits di atas dapat difahami bahwa orang yang berhadas besar boleh berzikir menyebut nama Allah. Membaca al-Qur’an dapat disamakan dengan menyebut nama Allah.
Mengenai ayat laa yamassuhu illal-muthahharuun (al-Waqi‘ah ayat 79), menurut riwayat, ayat ini diturunkan di Makkah, sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah. Sedang mushaf al-Qur’an baru ada pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berarti adanya mushaf al-Qur’an setelah lebih kurang 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Pada masa Khalifah Utsman baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke tengah masyarakat. Mushaf al-Qur’an baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karena itu, ayat di atas tidak ada kaitannya dengan mushaf al-Qur’an.
Dari pendapat para mufassir dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-muthahharuun, ialah orang yang suci yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang inilah yang dapat menyentuh isi dan kandungan al-Qur’an. Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi al-Qur’an. Orang-orang suci yang dimaksud mungkin malaikat, dan mungkin manusia, dan mungkin pula kedua-duanya.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam berpendapat, yang paling baik bagi orang yang hendak membaca al-Qur’an adalah ia dalam keadaan suci dari hadas dan najis, serta berwudlu terlebih dahulu. Karena yang akan kita baca bukan sembarang kitab, melainkan wahyu Allah yang menjadi petunjuk hidup bagi manusia. Pendapat ini sesuai pula dengan pendapat Ibnul Qayyim.
—————————————–
Semua pertanyaan dijawab oleh Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
e-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com
Link: https://www.suaramuhammadiyah.id/2016/06/27/fatwa-tarjih-tentang-membaca-quran-saat-haid/
Sementara itu dalam Link: https://republika.co.id/berita/nr5ygb23/bolehkah-wanita-haid-membaca-alquran, dijelaskan sebagai berikut:
Dalam pada itu, para fukaha (ahli fikih) juga berbeda pendapat mengenai masalah ini. Sebagian fukaha melarang wanita haid membaca Al-Quran. sebagian lainnya menyatakan boleh saja wanita haid membaca Al-Quran.
Para fukaha yang melarang wanita haid membaca Al-Quran mendasarkan ijtihad mereka kepada beberapa hadis Nabi SAW. Pertama, sabda Beliau, “Jangan wanita haid dan orang junub membaca sesuatu dari Alquran.” (HR at-Tirmizi, ad-Daraqutni, dan al-Baihaqi). Kedua, hadis dari Ali Ibn Abi Talib yang menyatakan, “Nabi SAW tidak pernah terhalang membaca Alquran oleh sesuatu apa pun, kecuali oleh keadaan junub.” (Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan Ibn Hibban).
Dalam sanad hadis pertama terdapat rawi bernama Muhammad Ibn al-Fadl. Ia adalah seorang rawi daif, bahkan tertuduh pemalsu hadis. Oleh karena itu, hadis pertama ini adalah hadis daif. Al-Baihaqi sendiri yang meriwayatkannya menyatakan kedaifannya. Al-Albani menyatakan, hadis ini mungkar. An-Nawawi menyatakan bahwa kedaifannya sangat jelas. Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat menjadi dasar hukum syariah.
Sedangkan, hadis kedua, riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan Ibn Hibban tidak diakui oleh kebanyakan ahli hadis. Di dalam sanadnya terdapat rawi bernama Abdullah Ibn Salamah yang meriwayatkan hadis ini saat ia telah tua dan pikun. Al-Khattabi menyatakan bahwa Imam Ahmad mendaifkan hadis ini.
Asy-Syaukani menegaskan bahwa hadis ini tidak mengandung penegasan makruhnya wanita haid membaca Alquran, apalagi keharamannya. Apa yang diterangkan dalam hadis ini hanyalah bahwa Nabi SAW saat junub tidak membaca Alquran. Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari menyatakan bahwa, “Menurut al-Bukhari, tidak ada satu pun hadis yang sahih mengenai larangan ini.”
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juga menegaskan bahwa al-Bukhari dan orang-orang yang membolehkan wanita haid membaca Alquran, seperti at-Tabari, Ibn al-Munzir, dan Dawud az-Zahiri memegangi keumuman hadis Aisyah bahwa, “Rasulullah SAW senantiasa berzikir kepada Allah dalam setiap keadaan.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Berzikir di sini termasuk membaca Alquran yang dilakukan setiap saat, termasuk dalam keadaan junub.
Ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhari dari Ummi ‘Atiyyah bahwa ia berkata, “Kami diperintahkan (oleh Rasulullah) pada hari Id agar keluar dan mengajak gadis pingitan dan wanita haid agar ikut keluar berada di belakang jamaah, mereka ikut bertakbir dan berdoa bersama jamaah serta mengharapkan berkah dan kesucian hari raya itu.”
Ibn Taimiyyah mengatakan, “Di zaman Rasulullah SAW, para wanita mengalami haid, namun Rasulullah SAW tidak melarang mereka membaca Alquran sebagaimana tidak melarang mereka berzikir dan berdoa.”
Pendapat yang membolehkan wanita haid membaca Alquran ini barang kali lebih maslahat bagi kaum wanita, mereka tidak banyak terhalang untuk mengakses, mempelajari, dan membaca Alquran.